AKU BUKAN ISTRI SAMPAH
Kapan tahu rasanya diperjuangkan untuk tidak hidup menderita?
Kapan tahu rasanya disayangi tanpa pamrih?
Kapan tahu rasanya diberi tulus tanpa stimulus?
Kapan tahu rasanya dicintai karena Alloh?
Jika jodoh itu sekufu mengapa ada perempuan bertaqwa dan baik-baik mendapatkan pendamping hidup yang kurang bertaqwa dan tidak baik?
Ataukah kita yang hanya merasa bertaqwa dan hanya merasa baik?
Hingga jodoh yang kta anggap tidak sekufu tapi ternyata sekufu di mata Alloh? Apakah hanya karena kesombongan kitalah yang merasa bahwa kita tidak sekufu dan merasa ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi pendamping hidup kita? Lagi, keterbatasan otak kitalah yang salah mencerna, atau mungkin karena iman kita yang hanya setipis tysu saja.
SHOT STORY
AKU BUKAN ISTRI SAMPAH ( versi blog/ karena judulnya sama dengan karya saya di platform lain )
PART 1
PENULIS BAYANGAN
RAVENIA
Malam merangkak semakin tua, rembulan berenang lelah di antara gumpalan awan hitam. Sinarnya meredup seolah berseteru dengan cahaya dan menolak benderang yang meregang. Jika hidup dikali dengan kematian, lalu dibagi dengan sisa penggal napas yang tersengal, maka yang tersisa hanyalah seonggok rongsokan tua sisa umur yang kian uzur. Dunia yang absur seolah semakin mengaburkan aksioma yang kian merebah. Seolah premis pesimis menyongsong mentari esok yang direngkuh gigil gerimis.
Embusan angin mengalir giris melalui kisi-kisi jendela, aku meringis dalam lara dan luka. Mengompres memar di tiap sudut raga yang dikoyak lara. Air es yang kubungkus handuk mungil adalah satu-satunya cara untuk mengurangi bengkak dan nyeri serta menyempitkan pembulu darah agar memar ini tidak meluas dan tersamar. Untuk kemudian keesokan harinya aku bisa tampil normal dan wajar. Seolah aku adalah Ravenia yang hidup normal, dicintai suami, keluarga harmoni.
Keluarga besarku cukup terpandang di daerahku, banyak yang menjadi pejabat pemerintah dan pegawai negeri. Value yang mereka junjung adalah kehormatan keluarga, bukan hanya tahta dan harta. Maka tak heran jika validasi sosial cukup memengaruhi kehidupan kami. Terlebih lagi, tempat tinggalku berdekatan dengan keluarga besar yang lain. Jadi, apa pun yang terjadi dalam kehidupan pribadiku, serapat apa pun aku tutupi untuk menjaga martabat dan kehormatan suami toh tetap akan tercium juga.
Layar gawaiku berkedip, sebuah notifikasi dari aplikasi hijau (LINE ) terlihat, siapa lagi yang menghubungiku lewat aplikasi itu selain teman-teman penulis dari luar negeri? Karena aplikasi hijau lain ( WhatsApp ) kurang populer?
Bryan : Ve? Sudah tidur?
Bryan adalah salah satu teman sesama penulis yang sedang menjalani program doktoral di Jepang. Perbedaan jam yang terkadang membuat kami lupa dengan perbedaan waktu. Apalagi yang ingin Bryan bagi? Baru saja akan aku jawab tiba-tiba pintu kamar terdobrak kasar. Entakan kasar sepasang kaki masuk, tatap mata nyalang dan beringas seperti ingin melalapku hidup-hidup. Ada kobaran api di sana.
"Kamu masih komunikasi sama dia?" serak dan parau suara itu. Kuatur napasku agar tidak memburu. Aku muak selalu dicurigai dan diintimidasi. Jika unsur api adalah oksigen, sumber panas, dan bahan bakar --- maka aku tak akan menjadi ketiganya. Aku akan menjadi air yang akan memadamkannya, aku tak boleh menjadi oksigen yang akan kian mengobarkannya.
"Kami dalam komunitas yang sama, kami berbagi bahan tulisan kami masing-masing, karena tulisan kami melalui riset dan ...."
"Apa sih, Ve? Yang kamu harapkan dari hasil nulis gak jelasmu itu? Hasil tak sebanding dengan begadangmu semalaman? Sebetulnya kamu niat kerja atau ingin tetap menjalin komunikasi dengan teman-teman gak jelasmu itu?" Dia meninterupsi jawabanku. Aku tertawa garing, harusnya aku tahu, percuma susah payah memberi penjelasan pada orang yang tak memahami literasi dan komunitasku, percuma bersusah payah membuktikan bahwa ini adalah duniaku. MENJADI PENULIS BAYANGAN BEBERAPA AUTHOR BESAR YANG RATA-RATA KARYANYA SUDAH MELEJIT DIBEBERAPA PLATFORM, membuatku harus susah payah riset materi. Aku tak pernah ke Jepang, jika settingnya Jepang maka mau tak mau aku harus bertanya pada yang menyentuhnya langsung dan tinggal di sana. Supaya feelnya dapat. Karena 'ruhnya' beda dengan googling.
"Mas sudah tahu bahwa jauh sebelum kita menikah aku sudah aktif menulis, bahkan mas tahu buku-buku seberapa banyak saat pertama kali mas ke rumahku. Persaiangan antar penulis di platform berbayar itu sangat ketat. Apa lagi yang bisa aku harapkan selain menjadi penulis bayangan untuk menyambung hidup?" Datar suaraku, tanpa ekspresi, pola yang berulang membuatku seolah mati rasa dengan segala kekanak-kanakannya. Apakah dia tidak berpikir bagaimana dan dari mana beras, gula, minyak, teh, kopi, Liquifiet Pertoleum Gas selama ini bisa terbeli? Apakah dia mengira uang seratus-dua ratus ribu yang entah dia berhutang dari mana cukup untuk hidup sehari-hari? Jika aku tidak menulis? Apakah aku mengais uang itu dari langit? Miris.
"Kenapa hanya menjadi penulis bayangan? Kenapa tidak menjadi penulis profesional? Hegh! Itu karena karyamu gak bagus dan hanya tulisan sampah!" Lagi, tidak pernah diapresiasi, sama seperti keluarganya yang anggap tulisanku gak guna karena gak menghasilkan uang banyak..
"Tahu apa mas tentang tulisan emas atau tulisan sampah? Jika tulisanku adalah tulisan sampah gak mungkin readersku rata-rata sarjana dan doktoral. Jika tulisanku tulisan sampah gak mungkin author-author besar menjadikanku penulis bayangan mereka. Itu karena mereka melihat tulisan - tulisanku," pekikku membela diri. Sepasang netraku memanas, ada sesuatu yang mendesak-desak ingin keluar: air mata. Aku lelah terus ingin dihargai? Aku salah apa? Dia dan keluarganya rugi apa? Laptop hasil jerih payahku sendiri, kuota juga jatah dari kerja. Aku gak pernah tahu mengapa mereka begitu membenci profesiku? Ataukah membenci pribadiku? Apakah aku kurang tabah? Menerima dengan iklas penghasilan dia yang tak pasti, tidak pernah menuntut lebih? Apakah itu masih kurang? Apalagi yang harus aku lakukan untuk memuaskan ego mereka? Apaaaa? ...
"Apa yang Mas takutkan sebenarnya? Aku selingkuh? Aku meninggalkan mas? Igku saja aku kunci, aku private, bahkan aku gak izinkan siap pun follow aku selain keluarga. Aku gak gila validasi sosial, Mas. Aku gak gila popularitas. Andai aku mau meladeni mereka gampang, Mas." lirihku dengan isak. Tes! Setetes air mataku jatuh, luruh! Seperti ketegaran yang susah payah aku bangun.
"Itu karena hanya untuk link zoom komunitasku," lanjutku lirih, masih dengan isak, "Karena itu zoom edukasi, psikologi dan pelajaran nulis gratis, fasilitas dari beberapa platform di mana aku nulis. Mas lebih seneng jika aku buka-buka aplikasi belanja online dan aku keranjingan belanja? Aku belajar disana, Mas! Bukan cari selingkuhan,"
"Selalu membantah kamu! Karena merasa lebih pandai? Lebih smart?" handiknya kasar, dan ...
PLAAKKK!!
Lagi, sebuah tamparan keras melayang di wajahku, aku nyaris tersungkur mencium bantal. Daguku diangkat dengan kasar oleh tangan kokohnya. Harusnya kutahu bahwa cara dia memperlakukanku sebagai pasangan hidup adalah proyeksi cinta yang dia terima sejak kecil. innerchildnya, seperti kata mbak Kia, psikolog yang selama ini menjadi nara sumber di zoom komunitas kami.
"Aku gak suka kamu bantah! Ngerti? Jadilah istri yang penurut dan gak banyak mulut!" Entakkan kasar tangannya membuatku terjungkal mencium bantal. Air mataku berlonacatan kian brutal. Coping dari stress sikap abusivenya. Karena dia tak kunjung mendapat pekerjaan sesuai seleranya. Sampai kapan aku harus menjadi samsaknya? Sampai kapan pola yang berulang ini akan terulang?
Value yang dijunjung dan hirarki nilai dalam pernikahan yang kami junjung beda. Sampai kapan aku bisa bertahan? Sampai kapan aku kuat bertahan? Sampai kapan?
Bersambung
Sudut sunyi bumi, 15 Februari 2024
Ingat Reyna di Aku bukan istri sampah versi dunia orange. Tabah banget. Kuat banget. Ini akan dikupas detail dari sisi psikologi kak, Kak? Sangat menunggu next partnya🤧💪🔥
BalasHapusMenurutku suami Ravenia dan keluarga suaminya cuma insecure. Jadi mekanisme pertahanan ego mereka gitu.😓ðŸ˜
BalasHapusMewakili opini readers lain kakak yang tak punya blog hingga tak bisa komen, Kak. Kata mereka di grub readers kakak; sangat penting mencari pasangan hidup dan keluarga dan sekufu pemikirannya agar tidak mispersepsi kayak story ini.
BalasHapusDan itulah sebabnya orang intelektual harusnya nyari yang intelek juga. Biar nyambung. Gak rawan konflik karna gak sefrekuensi. Kongslet jadinya🤧ðŸ˜ðŸ¤“👻
BalasHapusFeelnya sangat dapat, menunggu ilmumu untuk digali secara psikologi, dan akan jadi blog edukasi, bukan sastra biasa.
BalasHapusKDRT itu sakit psikologis, tak bisa sembuh jika tak diterapy ahlinya, resikonya jika terus bertahan KEMATIAN.
BalasHapus